The city of joy, begitu mendengar namanya saya langsung tertarik untuk segera beranjak dari tempat duduk saya dan segera menuju ruang audio visual. Sama seperti beberapa bulan yang lalu, Pak Sumar kali ini juga menyuguhkan kepada kami sebuah film yang luar biasa bagusnya. Pada saat diberi tahu bahwa film ini tidak memiliki subtitle, sempat saya putus asa untuk menontonnya, tapi ya sudah lah, dari pada di kelas, lebih baik saya ikut menonton saja. Alih-alih untuk menghilangkan kepenatan setelah ber jam-jam ada di dalam kelas.
Baru beberapa menit film ini berjalan, saya sudah mulai tertarik, karena saya merasa film ini adalah film yang berbasis pada kisah nyata. Entah mengapa, saya sangat suka dengan film yang didedikasikan untuk seseorang atau film yang berbasis kisah nyata pembuatnya. Setelah tahu bahwa film itu adalah film yang berbasis kisah nyata, saya juga mengetahui bahwa film ini adalah film yang diangkat dari sebuah novel Dominique Lapiere yang berjudul “The City of Joy”
Bahwa India adalah sebuah negeri dengan jumlah penduduk sangat besar, saya sudah tahu. Juga bahwa negeri besar itu penuh dengan orang miskin, bukanlah berita baru. Itu hal biasa yang kita jumpai pada banyak negara dunia ketiga. Tetapi bahwa di sana ada sebuah perkampungan kumuh bernama The City of Joy (Negri Bahagia) dengan penghuninya yang berada pada tingkat kemiskinan paling mengerikan di dunia, saya baru mengetahuinya setelah melihat film ini. Nama yang sungguh berlawanan arti dengan realita yang sebenarnya.
Terletak di salah satu sudut Calcutta yang tengah menjelma metropolis, The City of Joy dihuni oleh para orang paling miskin di India. Mereka adalah pengungsi dari desa-desa saat kekeringan panjang mendatangkan bencana kelaparan tak berkesudahan. Mereka kebanyakan adalah petani miskin yang terpaksa menjual sawahnya kepada para lintah darat demi menyambung hidup. Ketika desa tak lagi mampu memberi mereka kehidupan, berbondong-bondong mereka menyerbu kota-kota besar, mengais remah-remah kehidupan, bergulat dengan bengisnya metropolitan, memeras darah dan keringat agar tetap bisa sekedar bernapas.
Di kota itu juga terdapat Hapsari dan keluarganya. Mereka berasal dari sebuah desa yang juga mengalami bencana kemiskinan. Mereka bermasud pergi merantau ke kota untuk merubah hidupnya. Namun sesampainya di kota, ia malah ditipu seseorang sehingga uangnya habis. Saya salut dengan perjuangan hapsari ia lalu pergi mencari-cari sebuah pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Perbuatannya sangat mencerminkan sikap yang bertanggung jawab terhadapa keluarga.
Setelah itu ia bertemu dengan seseorang yang mau untuk membantunya mencari pekerjaan dan tempat tinggal bagi dirinya dan keluarga. Agar tidak tidur di jalanan seperti saat ini. Kemudian mereka dibawa oleh orang itu ke The City of Joy.
Kemudian cerita berlanjut dengan kedatangan seorang dokter Amerika, yang patah hati dengan sistem kesehatan di Amerika, dan mencoba menemukan arti hidupnya di India. Sesampainya di India, dia dirampok, dan ditolong oleh seorang penduduk lokal miskin, yang membawanya ke City of Joy. Disana dia berkenalan dengan seorang rekan senegaranya yang menjadi relawan, dan dia diminta untuk menyumbangkan ketrampilannnya dalam bidang kedokteran disana. Dia bersedia.
Keberaniannya untuk mau berjuang bagi sesama merupakan salah satu hal yang membuat saya menjadi kagum pada sosok dokter itu. Saya merasa dokter itu memiliki semangat juang yang sangat tinggi. Ia mampu menghilangkan rasa jijiknya pada kekumuhan wilayah itu. Mungkin menurut saya dokter itu memiliki jiwa pahlawan.
Ada satu adegan yang menarik, yaitu ketika klinik itu mau digusur oleh sang tuan tanah tempat klinik kaum papa itu berdiri, karena dia mau menaikkan harga sewa. Mereka bersama-sama ke rumah tuan tanah tersebut untuk memprotes kebijakan tuan tanah yang semakin mencekik hidup mereka itu.
Ketika dokter itu mendatangi sang tuan tanah untuk menerangkan bahwa klinik itu berguna bagi masyarakat sekitar, dan harga sewa jangan dinaikkan. Apa kata tuan tanah itu? Ini perkataan yang jujur, yang memperlihatkan realitas problematika permasalahan di banyak tempat dimana ada perbedaan jurang kaya dan miskin. Saya tuliskan disini dengan kata-kata sendiri, tetapi intinya kira-kira seperti ini.
"Kalian orang Amerika tahu apa tentang nilai uang? Bagi kalian uang adalah kertas untuk dibelanjakan. Tahu apa kalian tentang India? Bagi kami, uang adalah benteng pertahanan kami. Lihatlah sekeliling, kemiskinan membuat hidup mengalami penurunan derajat sampai ke tingkat paling rendah. Lihatlah saya, kenapa saya tidak seperti mereka yang di luar itu? Karena uang. Uang memungkinkan saya dan keluarga saya untuk bertahan dari degradasi. Uang adalah tembok pertahanan dalam masyarakat kami. Tanpa uang, dengan cepat kami akan mengalami degradasi sama seperti semua orang."
Tuan tanah itu jujur, walaupun dengan melakukan hal itu dia juga mengalami degradasi, yaitu degradasi kemanusiaan dimana dia mampu melihat banyak orang menderita atas keputusan yang dia ambil. Dia menyelamatkan diri dari degradasi kualitas hidup dengan mengorbankan yang paling penting, nilai sebagai manusia. Tetapi memang tidak semua orang dilahirkan untuk menjadi pahlawan, terutama jika lingkungan sekitar tidak mendukung. Jika salah satu dari orang miskin sekitarnya kemudian jadi orang kaya dan ada pada posisi yang sama dengan tuan tanah tersebut, kemungkinan besar akan melakukan hal yang sama dengan tuan tanah itu.
Dewasa ini dalam masyarakat kita, terutama di indonesia kebanyakan orang juga akan cenderung melakukan hal yang sama dengan tuan tanah itu. Saat ini uang dapat mengalahkan segalanya. Menurut pemikiran kita sebagai orang-orang pada dunia ketiga, uang dapat digunakan untuk membeli segalanya. Namun, pemikiran itu sebenarnya adalah pemikiran yang salah. Tetapi walaupun salah, to tetap saja banyak yang tetap melakukannya.
The City of Joy juga bisa disebut sebagai sebuah kisah "horor", di mana saking miskinnya, seseorang terpaksa harus menjual darah dan kerangka tubuhnya, dalam arti sebenarnya, demi harapan dapat melihat kembali matahari esok pagi. Pada bagian akhir kisah itu juga dikisahkan bagaimana hasari harus menjual kerangka tubuhnya sebagai alat peraga biologi. Para penghuni Negeri Bahagia ini juga sungguh orang-orang dengan ketabahan mengagumkan. Berbagai bencana dan kesulitan tak menyurutkan semangat hidup dan tak membuat mereka meninggalkan kepercayaan kepada dewa-dewi pelindung, pemberi kehidupan. Buktinya, walaupun di tengah-tengah kesengsaraan, mereka tetap melaksanakan perayaan-perayaan keagamaan dengan riang gembira. Bagi mereka apa yang telah mereka percayai akan terus menerus mereka lakukan. Dalam keadaan apapun dan bagaimanapun caranya. Yang terpenting bagi mereka adalah sebuah nilai religiositasnya.
Seperti pada saat hasari harus menikahkan anaknya. Karena menurut kepercayaan mereka, anak perempuan itu harus dipestakan pada saat hari pernikahaannya. Pada saat itu, suguh hasri bekerja keras agar hal itu terpenuhi. Dan akhirnya ia dapat menikahkan anaknya. Sungguh luar biasa kerja keras yang dilakukan hasari. Saya sangat kagum dengan segala jerih payah hasari itu.
The City of Joy ini benar-benar sebuah kisah nyata yang sangat inspiratif. Betapa mengharukan kenyataan bahwa masih ada orang-orang berhati malaikat seperti wanita amerika, hasari dan Max Loeb di dunia ini. Mereka adalah permata-permata mulia yang berkilau meski dalam lumpur sekalipun. Mereka adalah cahaya di kegelapan hidup. Mereka adalah obat bagi penderitaan.
Dan bagi saya, buku ini memberi satu pelajaran berharga untuk lebih bersyukur akan semua "kekayaan" dan keberuntungan yang saya miliki.
0 komentar:
Posting Komentar Posting Komentar