A. SIDANG UMUM PERTAMA BADAN PENYELIDIK USAHA-USAHA PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA
Sebagaimana diketahui, pada tanggal 1 Maret 1945, Pemerintah Jepang meresmikan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tugas badan ini adalah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berhubungan dengan segi-segi politik, ekonomi, tata pemerintahan dan lain-lainnya, yang dibutuhkan dalam usaha pembentukan negara Indonesia Merdeka.
Selama masa tugasnya, Badan ini mengadakan dua kali sidang umum. Sidang umum pertama diselenggarakan dari tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, sidang umum kedua dari tanggal 10 juli sampai dengan tanggal 17 Juli 1945.
Di dalam sidang umum yang pertama itu para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia berbicara serta membahas berbagai macam hal yang ada kaitannya dengan persiapan Indonesia Merdeka, antara lain tentang syarat-syarat hukum suatu negara, bentuk negara, pemerintahan negara dan dasar negara.
Pembicaraan dan pembahasan mengenai dasar negara merupakan salah satu acara sidang umum yang pertama, oleh karena masalah dasar negara tersebut dipertanyakan oleh Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Radjiman Wediodiningrat. Terhadap pertanyaan Ketua ini, banyak anggota merasa keberatan, karena khawatir bahwa pembicaraan akan menjadi perdebatan filosofi yang tidak konkrit, dan hanya akan menunda-nunda kenyataan Indonesia Merdeka.
Tentang dasar negara itu sekurang-kurangnya ada tiga anggota yang mengemukakan pandangannya, yaitu Muh. Yamin, di dalam pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945, Soepomo di dalam pidatonya pada tanggal 31 Mei, 1945, dan Soekarno, di dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.
a) Pidato Muh Yamin (29 Mei 1945)
Pada tanggal 29 Mei 1945, Muh. Yamin mengemukakan pendapatnya di dalam sidang Badan Penyelidik itu. Pendapat Muh. Yamin itu dibagikan ke dalam lima hal sebagai berikut: i) Peri Kebangsaaan; ii) Peri Kemanusiaan; iii) Peri Ketuhanan; iv) Peri Kerakyatan; v) Kesejahteraan Rakyat.
Di dalam pidato itu Muh. Yamin berbicara mengenai dasar Peri Kebangsaan dan Ketuhanan, di mana antara lain dikemukakan:
“Negara baru jang akan kita bentuk, adalah suatu negara kebangsaan Indonesia atau suatu nasionale staat atau suatu Etat National jang sewadjar dengan peradaban kita dan menurut susunan dunia sekeluarga diatas dasar kebangsaan dan ke-Tuhanan.”
Menurut pandangannya, Negara Indonesia merdeka harus didasarkan atas peradaban Indonesia, dan:
“… rakjat Indonesia mesti mendapat dasar negara jang berasal dari pada peradaban kebangsaan Indonesia; orang Timur pulang kepada kebudajaan Timur. … kita tidak berniat lalu akan meniru sesuatu susunan tata negara negeri luaran. Kita bangsa Indonesia masuk jang beradab dan kebudajaan kita beribu-ribu tahun umurnja.”
Di bagian lain dari pidato yang diucapkannya pada tanggal 29 Mei 1945 itu, Muh. Yamin berkata:
“Dalam keadaan jang seperti itu, perdjalanan fikiran untuk kebaikan Negara Indonesia jang kita selidiki itu dengan sendirinja tidak tertudju kepada beberapa tjita-tjita jang telah hantjur-luluh dalam mahajuda sekarang, melainkan ditudjukan kepada penindjauan diri sendiri sebagai bangsa jang beradab. Dengan penuh kejakinan, bahwa negara itu berhubungan rapi hidupnja dengan tanah-air, bangsa, kebudajaan dan kemakmuran Indonesia, seperti setangkai bunga berhubungan rapi dengan dahan dan daun, tjabang dan urat bersama-sama dengan alam dan bumi; seperti tulang, darah dan daging dalam badan-tubuh jang berdjiwa dan bernjawa sehat, maka kewadjiban kita jang pertama kali menjusuli dasar hidup kita ke dalam pangkuan, haribaan kita sendiri, sebelumnya kita membitjarakan bentuk, tjara memerintah dan susunan Pemerintah nanti.”
Dengan rumusan lebih lanjut Muh. Yamin mengatakan bahwa “pokok-pokok aturan dasar Negara Indonesia haruslah disusun menurut watak peradaban Indonesia.”
Di dalam pidato yang diucapkannya tanggal 29 Mei 1945 itu, dibicarakan pula tentang perikemanusiaan, Ketuhanan, permusyarawatan dan perwakilan, ditegaskan delapan paham negara Indonesia Merdeka, dan disingung pula hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan ekonomi. Sebagai kelengkapan pada pidato itu, Muh. Yamin melampirkan suatu rancangan sementara Undang-Undang Dasar republik Indonesia yang dirumuskannya:
“Habislah pembitjaraan tentang azas kemanusiaan, kebangsaan, kesedjahteraan dan dasar jang tiga, jang diberkati kerachmatan Tuhan, jang semuanja akan mendjadi tiang negara keselamatan jang akan dibentuk. Dengan ini saja mempersembahkan kepada sidang sebagai lampiran suatu rantjangan sementara berisi perumusan Undang-undang Dasar Republik Indonesia.”
Demikianlah antara lain Muh. Yamin mengakhiri pidatonya. Pada naskah rancangan Undang-Undang Daar yang disampaikan itu ada terdapat lima dasar negara yang dicantumkan, yakni:
1. ke-Tuhanan Jang Maha Esa
2. kebangsaan pesatuan Indonesia
3. rasa kemanusiaan jang adil dan beradab
4. kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan
5. keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia.
b) Pidato Soepomo ( 31 Mei 1945 )
Menurut Soepomo, pertanyaan mengenai dasar negara pada hakikatnya adalah pertanyaan tentang cita-cita negara (staatsidee). Dalam rangka itu Soepomo memberikan tiga teori negara : perseorangan, golongan, dan integralistik. Teori perseorangan adalah individualisme. Teori golongan adalah sosialisme, kolektivisme. Dan teori integralistik adalah idealisme absolut (menurut Hegel).
Sedangkan dasar dan bentuk susunan dari sesuatu negara itu berhubungan erat dengan riwayat hukum ( rechtgeschichte) dan stuktur sosial (sociale structuur) dari negara itu. Mengenai struktur masyarakat Indonesia, Soepomo berpendapat bahwa struktur sosial Indonesia yang asli tidak lain adalah ciptaan kebudayaan Indonesia, dan aliran pikiran atau semangat kebatinan bangsa Indonesia.
Dalam pemikiran tersebut diungkapkan beberapa ciri pikiran kebudayaan Indonesia: cita-cita persatuan hidup, keseimbangan lahir dan batin, pemimpin yang bersatu jiwa dengan rakyatnya, musyawarah, suasanan persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya, antara golongan rakyat yang satu dengan yang lain, segala golongan diliputi oleh semangat gotong-royong, dan semangat kekeluargaan. Menurut pemikiran tadi , negara tidak menyatukan dirinya dengan golongan terbesar dalam masyarakat, juga tidak dengan menyatukan dirinya dengan golongan yang paling kuat. Tetapi mengatasi segala golongan dan segala perorangan, dan menyatukan dirinya dengan segala lapisan masyarakat seluruhnya.
c) Pidato Ir.Soekarno ( 1 Juni 1945 )
Pada tanggal 1 Juni 1945, di dalam pidato yang terdiri dari sekitar 6480 kata, Soekarno mengemukakan pendapatnya tentang dasar negara Indonesia Merdeka.
Di dalam awal pidatonya, Soekarno terlebih dahulu mencoba memberikan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud oleh Ketua Badan Penyelidik “ Menurut anggapan saya yang diminta oleh ketua BPPK adalah, dalam bahasa Belanda ‘Philosofische grondslag’ daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat-hasrat sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
Sesudah menyampaikan ulasan mengenai arti merdeka, guna mempertegas tekad untuk mewujudkan Indonesia Merdeka, Soekarno meneruskan pembicaraan mengenai dasar negara. Kemudian mulailah Soekarno memaparkan pandangannya mengenai dasar-dasar Indonesia Merdeka. Pada urutan pertama disebutkan dasar kebangsaan.
“Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. kita mendirikan satu Negara Kebangsaaan Indonesia.”
Sebagai dasar kedua disebutkan internasionalisme, sesudahnya Soekarno mengemukakan bahaya-bahaya yang dapat timbul dari nasionalisme.
“Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah pilosofisch principe yang nomor dua, yang boleh disebut internasionalisme.”
Dasar ketiga yang dikemukakan oleh Soekarno adalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan.
“Dasar yang ketiga adalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya.. tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’,’satu buat semua, semua buat satu’.
Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia adalah permusyawaratan, perwakilan.”
Dasar yang keempat adalah kesejahteraan.
“Prinsip no. 4 sekarang saya usulkan. Jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita adakan persamaan, bukan saja persamaan politik, tetapi di bidang ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan yang sebaik-baiknya.”
Akhirnya prinsip kelima diutarakan oleh Soekarno yaitu prinsip Ketuhanan.
“Prinsip yang kelima adalah prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan, buka saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indoneisa hendaknya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhan-nya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan.”
Setelah menguraikan pendapatnya mengenai lima dasar negara Indonesia tersebut, Soekarno kemudian berbicara tentang nama dasar negara itu. Dia mengusulkan agar dasar negara tersebut diberi nama “Pancasila”, yang dikatakan oleh beliau istilah itu atas saran dari salah seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya. Usul mengenai nama “Pancasila” bagi dasar negara tersebut secara bulat diterima oleh sidang BPUPKI.
Demikianlah pada tanggal 1 Juni 1945 itu, Soekarno mengemukakan pemikirannya tentang Pancasila, yaitu nama dari lima dasar negara Indonesia yang diusulkannya berkenaan dengan permasalahan di sekitar dasar negara Indonesia Merdeka. Untuk pertama kalinya, pemikiran tentang Pancasila baik dalam pengertian nama maupun dalam pengertian isinya, secara eksplisit dan terurai dicetuskan dan tercatat dalam sejarah.
B. PROSES PERANCANGAN PIAGAM JAKARTA
Sidang umum pertama BPUPKI diakhiri pada tanggal 1 Juni 1945. untuk melancarkan pelaksanaan kerja BPUPKI, dibentuklah satu panitia kecil yang diketuai oleh Soekarno, dengan tugas mengumpulkan usul-usul para anggota dan mempelajarinya. Panitia itu terdiri dari delapan orang, yaitu : Soekarno, Moh. Hatta, Sutardjo, Wachid Hasyim, Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Muh. Yamin dan Maramis. Kemudian ketika menyentuh soal hubungan antara negara dan agama dibentuklah panitia kecil yang berjumlah sembilan orang yang selanjutnya dikenal sebagai Panitia Sembilan yang anggotanya terdiri dari : Moh. Hatta, Muh. Yamin, Subardjo, Maramis, Soekarno, KH Abd. Kahar Moezakir, KH Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, dan KH Agus Salim. Panitia ini diadakan untuk mendapatkan suatu modus persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. Panitia Sembilan berhasil mencapai satu modus persetujuan, yang selanjutnya dicantumkan di dalam satu rancangan pembukaan atau preambule hukum dasar. Adapun bunyi rancangan inti pembukaan alinea keempat dirumuskan bahwa negara berdasar: :
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rancangan preambule itu disetujui oleh Panitia Kecil Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Rancangan ini kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta.
C. PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Pancasila, dari fakta sejarah, memang dimaksudkan untuk menjadi dasar negara. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 mulai bersidang pada tanggal 29 Mei 1945. Badan Penyelidik ini bekerja untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka. Dr. Rajiman Wedyodiningrat, ketua Badan Penyelidik.
Nama Pancasila diajukan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, yang dimaksdkan sebagai dasar filsafat negara bagi negara Indonesia merdeka. Usulan ini ternyata diterima oleh para anggota Badan Penyelidik. Hasil-hasil sidang ini selanjutnya dibahas oleh sebuah panitia yang berjumlah sendiri 9 orang. Oleh panitia 9 tersebut dihasilkan sebuah rancangan pembukaan yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Jakarta. Di dalamnya juga terdapat rumusan Pancasila, yang nantinya mengalami perubahan yang bersifat menyempurnakan. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kemudian dibentuk sebagai pengganti BPUPKI memiliki fungsi mewakili seluruh bangsa Indonesia sebagai pembentuk negara dan memiliki wewenang meletakkan dasar negara. Dan pada tanggal 18 Agustus 1945 mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara yang terkenal dengan sebutan UUD 1945, yang memuat Pancasila dan pembukaannya. Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 inilah rumusan yang sah dan benar.
Pancasila sebagai dasar negara dengan jelas dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan Uud 1945 : “…...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada……”
Pancasila menjadi pangkal hubungan dan ukuran hubungan. Ini berarti bahwa sifat-sifat dan keadaan-keadaan Negara Republik Indonesia harus sesuai dengan Pancasila baik hal-hal pokok kenegaraan maupun hal penyelenggaraan negara. Fungsi pancasila sebagai dasar negara nampak jelas karena dijabarkan ke dalam pasal-pasal Uud 1945, sebagai ketentuan dasar pokok penyelenggaraan negara. Pasal-pasal tersebut adalah jelmaan dari Pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945 yang intinya adalah Pancasila.
Fungsi Pancasila sebagai dasar negara merupakan pokok kaidah negara yang fundamental, sebagai asas negara yang menjiwai, yang memiliki kedudukan istimewa dalam hidup kenegaraan dan hukum bangsa Indonesia. Pokok kaidah negara yang fundamental adalah norma hukum yang pokok bagi negara, yang dalam hukum mempunyai kedudukan yang tetap, kuat, dan tak dapat diubah bagi negara yang dibentuk.
Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai sifat imperatif (mengikat) dalam arti setiap warga negara Indonesia harus mematuhinya.
D. PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT BANGSA
Pancasila diajukan sebagai filsafat negara, yaitu suatu pemikiran yang mendalam untuk digunakan sebagai dasar negara. Sebagai filsafat negara, Pancasila berkenaan dengan manusia sebab negara adalah lembaga manusia. Oleh karena itu kelima sila yang ada di dalam Pancasila berfokus pada manusia.
Pancasila yang berisi lima dasar itu tidak dipandang sebagai lima prinsip yang berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi sila-sila itu secara bersama-sama merupakan satu kesatuan yang bulat. Kesatuan itersebut dapat diartikan bahwa sila yang satu dijiwai keempat sila lainnya.Pancasila memuat kata-kata dasar Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil. Maka inti isi atau hakikat sila-sila itu mencakup pengertian yang luas dan universal.
Pancasila sebagai filsafat negara digali dalam kalbu bangsa Indonesia. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Pancasila bukan hanya filsafat negara tetapi juga filsafat bangsa Indonesia. Isi filsafat bangsa Indonesia terhadap manusia sebagai makhluk ciptaan, yang hidup bersama dengan manusia lain sebagai umat manusia serta menyelesaikan masalah hidupnya atas dasar musyawarah mufakat. Dalam keyakinan itu tertera pula hormat kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan berpegang teguh pada Pancasila sebagai filsafat bangsa, Indonesia dapat menentukan sikap ditengah-tengah berbagai sistem dan aliran-aliran filsafat di dunia.
E. PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP BANGSA
Pandangan hidup bangsa adalah cara suatu bangsa menghadapi masalah-masalahnya dan menentukan arah serta menyelesaikannya. Pandangan hidup mengandung konsep-konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan, yaitu nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan yang menimbulkan tekad untuk mewujudkannya.
Masalah pokok dalam kehidupan manusia, yang pada kodrat serba terhubung, adalah bagaimana menjalin hubungan antara dirinya dengan tuhan, sesama manusia, masyarakat, dan alam sekitarnya. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa memberi pedoman untuk menjalin hubungan-hubungan tersebut dengan serasi dan seimbang. Kita yakin bahwa dengan pandangan hidup ini kita akan menemukan kebahagiaan hidup lahir dan batin. Pandangan hidup ini sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa.
Pandangan hidup Pancasila ini mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan bangsa yakni sebagai penuntun tingkah laku dalam segala segi kehidupan. Misalnya : orang Indonesia memandang segi sosial adalah faktor yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar Posting Komentar