BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Hak asasi manusia (HAM) mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, terutama dalam hubungan antara negara dan warga negara , dan dalam hubungan antara sesama warga negara. HAM berisi hak-hak dasar manusia yang memuat standar untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, penegakan HAM mempunyai makna penting untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa.
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM akan melalui proses pengadilan dalam hukum peradilan HAM seperti yang terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 butir 7 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Makalah ini akan berisi tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh negara dalam kaitannya dengan pelaksanaan hukuman mati yang diterapkan di Indonesia. Menurut beberapa kalangan, praktek pelanggaran HAM yang dilakukan negara kita tercermin dari pelaksanaan hukuman mati yang masih berlaku di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati dalam aturan pidananya. Padahal, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati baik secara de jure atau de facto. Di tengah kecenderungan dunia tentang penolakan hukuman mati, praktek ini justru makin lazim diterapkan di Indonesia.
Menurut beberapa kalangan, hukuman mati merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap HAM yang paling penting yaitu hak untuk hidup (right to life). Berbagai kalangan itu, termasuk beberapa LSM berusaha untuk menentang adanya hukuman mati. Namun sampai sekarang Indonesia masih menggunakan Hukuman mati sebagai hukuman tertinggi.
Akhir-akhir ini mulai banyak terjadi perdebatan tentang pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Ada yang pro pasti akan ada yang kontra. Untuk itu penulis mencoba untuk menulis tentang esensi dari pelanggaran HAM dan penerapan hukuman mati di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas, maka penulis dapat membuat rumusan masalahnya yaitu tentang bagaimana Hak Asasi Manusia dilanggar oleh negara?
Selain itu penulis juga akan membahas mengenai sejauh mana pemerintah sudah melindungi Hak-hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh masyarakatnya dengan adanya hukuman mati yang masih berlaku di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH PERTAMA
2.1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Berikut ini akan disajikan beberapa pengertian tentang Hak Asasi manusia yang diambil dari beberapa referensi. Diantaranya:
• HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan, 2002).
• Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Adnan Kusuma merumuskan pengertian HAM dalam “human right could be generally defines as those right which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being” yang artinya HAM adalah hak-hak yang secara secara inheren melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia
• John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mashur Effendi, 1994)
• Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu:
• HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia sejak lahir.
• HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
• HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansuor Fakih, 2003).
2.2. Pelanggaran HAM
Dalam pertemuan antara kurang lebih 30 pakar hukum yang dilakukan di Mastricht 22-26 Januari 1997, maka keluarlah Mastricht Guidelines. Mastricht Guidelines ini dapat membantu kita untuk mengetahui lebih lanjut tentang konsep pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi baik yang pelakunya negara maupun yang pelakunya non-negara, meskipun yang banyak ditekankan adalah tentang peran negara. Mastricht Guidelines ini berisi tentang dasar utama bagi kita untuk mengidentifikasi pelanggaran HAM. Arahan ini juga menyatakan bahwa pelanggaran HAM dapat terjadi lewat acts of commission ( tindakan untuk melakukan), oleh pihak negara atau pihak lain yang tidak diatur oleh negara, atau lewat acts of ommission (tindakan untuk tidak melakukan tindakan apapun) oleh negara. Pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak negara, baik berupa acts of commission maupun acts of ommission, dapat dilihat dalam hal kegagalannya untuk memenuhi tiga jenis kewajiban yang berbeda, yaitu:
1. Kewajiban untuk menghormati: kewajiban menghargai dan menghormati ini menuntut negara, beserta semua organ dan aparatnya, untuk tidak bertindak apapun yang melanggar integritas individu atau kelompok atau pelanggaran pada kebebasan mereka. Contoh pelanggaran dari jenis ini adalah tindakan seperti:
a) Pembunuhan di luar hukum (dalam pelanggaran atas kewajiban menghormati hak-hak individu untuk hidup);
b) Penahanan yang serampangan (dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak individu untuk bebas);
c) Pelarangan akan adanya serikat buruh (dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati kebebasan kelompok untuk berserikat);
d) Pembatasan atas praktek dari satu agama tertentu (dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak kebebasan beragama individu).
2. kewajiban untuk melindungi: kewajiban untuk melindungi menuntut negara dan aparatnya melakukan tindakan yang memadai untuk melindungi warga individu dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk pencegahan atau pelanggaran atas penikmat kebebasan mereka, contoh dari jenis pelanggaran ini adalah acts of ommission seperti:
a) Kegagalan negara untuk bertindak, ketika satu kelompok tertentu, seperti satu kelompok etnis, menyerang kelompok liyan;
b) Kegagalan negara untuk memaksa perusahaan untuk membayar upah karyawannya tepat waktu.
3. Kewajiban untuk memenuhi: kewajiban untuk memenuhi ini menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk menjamin setiap orang di dalam peluang yurisdiksinya untuk memberikan kepuasan kepada mereka yang memerlukan yang telah dikenal di dalam instrumen hak asasi dan tidak dapat dipenuhi oleh upaya pribadi. Contoh dari jenis ini adalah acts of ommission seperti:
a) Kegagalan negara untuk memenuhi sistem perawatan kesehatan dasar;
b) Kegagalan negara untuk mengimplementasikan satu sistem pendidikan gratis pada tingkat primer.
Satuan-satuan bukan-pemerintah juga dapat terlibat sebagai pelaku kejahatan pelanggaran hak asasi, sebagaimana yang dilakukan oleh negara atau agen-agennya, yang bertentangan dengan kewajiban untuk menghormati kebebasan individual atau kelompok. Contoh dari tindakan seperti itu oleh satuan bukan negara adalah:
1. Pembunuhan penduduk sipil oleh tentara pemberontakan;
2. Pelarangan beribadah oleh suatu kelompok tertentu kepada kelompok lainnya.
3. Serangan bersenjata oleh salah satu pihak melawan pihak yang lain;
4. Serangan fisikal mendadak oleh pengawal pribadi melawan para pemrotes.
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH KEDUA
3.1 Hukuman Mati Menurut Pandangan Hukum
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar negara dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat beberapa hal yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang melindungi adanya Hak Asasi manusia. Antara lain:
o Di dalam alenia IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dipahami bahwa Indonesia sangat menekankan pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia.
o Di dalam Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
o Di dalam Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum yang berlaku surat adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pasal 28 A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua merupakan pengaturan hak asasi manusia, perbedaannya pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua hanya mengatur tentang hak hidup seseorang, tetapi Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa beberapa hak asasi manusia ada yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Yang dimaksud dengan keadaan apapun adalah baik dalam keadaan normal (tidak dalam keadaan darurat, tidak dalam keadaan perang atau tidak dalam keadaan sengketa bersenjata) maupun dalam keadaan tidak normal (keadaan darurat, dalam keadaan perang dan dalam keadaan sengketa bersenjata) hak-hak tersebut tidak dapat dikurangi oleh Negara, Pemerintah, maupun masyarakat.
Tetapi Pasal 28 I harus dilengkapi dengan juga memahami apa yang terkandung dalam pasal 28 J yang berbunyi:
”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.”
Jika hanya membaca Pasal 28 I itu saja, maka memang terkesan seolah-olah konstitusi kita “melarang hukuman mati”, tetapi begitu kita membaca lengkap Pasal 28 I maupun Pasal 28 J, maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, tetapi pelaksanaan hak tersebut harus dibatasi bahwa pelaksanaan semua hak tersebut haruslah:
a. sesuai dengan undang-undang;
b. sesuai dengan pertimbangan moral;
c. sesuai dengan nilai agama;
d. sesuai dengan keamanan dan ketertiban umum.
Dengan kata lain, “dikecualikannya” jaminan hak yang ada dalam pasal 28 I itu dimungkinkan jika berdasarkan undang-undang, pertimbangan moral, nilai agama, demi keamanan dan ketertiban umum.
3.2. Peran Pemerintah dalam Perlindungan HAM
Menurut penulis, peran pemerintah dalam melindungi hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh warga negara amatlah penting. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mampu menjalankan 3 kewajiban negara yaitu kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi.
Menurut penulis dengan diberlakukannya hukuman mati di Indonesia, pemerintah sudah memenuhi kewajiban untuk melindungi. Dengan diberlakukannya hukuman mati, pemerintah berusaha memberikan perlindungan dan keadilan bagi seluruh warga negaranya agar hak asasi manusia dapat terpenuhi secara adil.
Dalam perundang-undangan Indonesia, jelas Indonesia masih memiliki KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Hukuman pidana merupakan hukum publik, oleh karena itu yang dipentingkan adalah kepentingan publik atau kepentingan masyarakat secara umum. Di dalam hukum pidana, hukum ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang teratur. Menurut Leden Marpaung dalam bukunya Aspek Teori dan Praktik Hukum Pidana, dalam pembuatan Hukuman Pidana menggunakan 3 teori, yaitu:
1. Teori imbalan (absolute/vergeldingstheorie)
Dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri karena kejahatan telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain sebagai imbalan (vergelding) si pelaku juga harus diberi imbalan.
2. Teori maksud/tujuan (relatieve/doel theorie)
Hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman untuk memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat jahat.
3. Teori gabungan (vereningstheorie)
Penjatuhan hukuman untuk mempertahankan tata hukum dan masyarakat serta memperbaiki pribadi si penjahat.
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan di atas, berarti ada teori yang dijadikan dasar untuk membinasakan atau membuat tidak berdaya lagi penjahat atau yang melakukan tindak pidana tertentu yang diatur di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Dasar penjatuhan hukuman mati di Indonesia adalah berdasarkan teori imbalan atau absolute yang merupakan teori tertua dibanding dengan teori-teori pemidanaan lainnya. Menurut teori imbalan, pidana harus diberikan terhadap masyarakat yang melakukan suatu pelanggaran atau penodaan terhadap konsensus yang terjadi dalam masyarakat untuk hidup tentram secara berdampingan. Teori imbalan melihat perbuatan yang dilakukan penjahat itu dan pidana yang diberikan harus setimpal dengan perbuatan. Dengan demikian, makin besar kejahatan, maka makin berat pula pidananya. (JE Shahetapi, 1982)
Berikut ini adalah tabel tentang beberapa undang-undang yang masih memiliki ancaman hukuman mati.
Tabel 3.1.
Daftar Undang-Undang yang Memiliki Ancaman Hukuman Mati
UU Pasal
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 104, 111 ayat (2), 124, 140 ayat (3), 340, 365 ayat (4), 444, 124 bis, 127, 129, 368 ayat (2)
UU No 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api Pasal 1 ayat (1)
Penetapan Presiden No 5 Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan Pasal 2
Perpu No 21 Tahun 1959 Tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi Pasal 1 ayat (1) dan (2)
UU No 11/PNPS/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 1 ayat (1)
UU No 31/PNPS/1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom Pasal 23
UU No 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan Pasal 3, Pasal 479 huruf (k) dan (o)
UU No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Pasal 59 ayat (2)
UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Pasal 80 ayat (1), (2), (3) Pasal 82 ayat (1), (2), dan (3)
UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi Pasal 2 ayat (2)
UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3)
UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, 16.
(Sumber: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16084&cl=Berita)
Menurut penulis, sampai saat ini pemerintah sudah bersifat protektif terhadap perlindungan hak asasi manusia. Yang perlu kita tahu bahwa pelaksanaan hukuman mati di Indonesia bukan semata-mata bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali hak-hak asasi manusia. Namun, dalam pelaksanaannya lebih kepada pelaksanaan tanggung jawab negara untuk melaksanakan kewajiban negara melindungi warga negaranya. Setiap tindakan yang diperbuat oleh warga negaranya, apabila perbuatan itu melenceng dari Undang-undang yang berlaku maka orang itu akan menerima hukuman seperti yang tertera dalam undang-undang yang berlaku.
BAB IV
KESIMPULAN dan SARAN
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara adalah apabila negara tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap warga negaranya. Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi antara lain menurut Mastricht Guidelines adalah kewajiban untuk menghormati, untuk melindungi, dan untuk memenuhi. Jadi apabila negara gagal dalam melaksanakan ketiga kewajiban itu, negara baru dapat dikatakan melanggar HAM.
Sampai saat ini di Indonesia masih memberlakukan hukuman mati karena diatur secara formal baik di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) maupun di undang-undang lainnya. Dengan adanya hukuman mati maka negara memiliki tujuan bukan untuk mengabaikan HAM warganegaranya tetapi dalam rangka menjalankan kewajibannya agar tidak melanggar HAM.
Apabila sampai sekarang masih banyak perbedaan pendapat mengenai hukuman mati, berarti masyarakat masih belum dapat memahami sepenuhnya tentang undang-undang yang mengatur tentang HAM.
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita dengan HAM orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi, A. Mashur. 1994. Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Fakih, Mansuor. 2003. Bebas Dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Insist.
http://www.anakciremai.blogspot.com
http://www.cahpucuk.multiply.com/journal/item/1
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16084&cl=Berita
Kaelan, Drs.H.MS.. 2002. Filsafat Pancasila. Jogjakarta: Paradigma.
Marpaung, Leden. 2005. Aspek, Teori dan Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Shahetapi, JE. 1982. Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Pembunuhan Berencana. Jakarta: Rajawali.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999. tentang Hak Asasi Manusia.Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar Posting Komentar