happy blogging...^^ contact me on : benidektus_jb@yahoo.co.id

Sabtu, 22 November 2008

Pelukis Salon

Raden Saleh
Sosok Raden Saleh sudah menjadi legenda. Drama hidupnya tampak tak jauh beda gemuruhnya dengan drama-drama lukisannya. Ada yang ditikam, ada yang menikam. Ada yang mengejar dan tampak yang dikejar-kejar. Terus dikejar dan diburu, itulah nasib lukisannya.
Raden Saleh berkibar sendiri dengan gaya lukis fotografis, gaya seni lukis Barat. Ia memang belajar di Barat, di antaranya membuat easelpainting atau lukisan dalam bentuk pigura. Raden Saleh mampu menampilkan tema berbeda dari seni lukis Indonesia, yang oleh masyarakat Barat dinilai berunsur "religius-kontemplatif-abstrak", bersifat keagamaan, bersamadi, lepas dari kebendaan. Ia memang pelukis objek alam dan kehidupan hewan, khususnya kuda dan binatang buas. Ia juga dianggap mumpuni dalam mencoretkan garis wajah dalam lukisan potret.
Kekagumannya pada Delacroix. Tokoh romantisme ini dinilai mempengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas menampilkan keyakinan romantismenya. Itu tak aneh, karena saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad XIX, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Prancis (1844 - 1851).


Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiositas) sekaligus ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Prancis Gerricault (1791 - 1824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll.
Wajar bila muncul pendapat, meski menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik represif pemerintah Hindia Belanda. Ini diwujudkannya dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro.

Meski serupa dengan karya J.W. Pieneman, ia memberi interpretasi yang berbeda. Lukisan Pieneman menekankan peristiwa menyerahnya Pangeran Diponegoro yang berdiri dengan wajah letih dan dua tangan terbentang. Hamparan senjata berupa sekumpulan tombak adalah tanda kalah perang. Di latar belakang Jenderal De Kock berdiri berkacak pinggang menunjuk kereta tahanan seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.
Rupanya, Raden Saleh ingin mengoreksi. Di lukisan yang selesai dibuat tahun 1857 itu pengikutnya tak membawa senjata. Keris di pinggang, ciri khas Diponegoro, pun tak ada. Ini menunjukkan, peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan. Maknanya, Pangeran dan pengikutnya datang dengan niat baik. Namun, perundingan gagal. Diponegoro ditangkap dengan mudah, karena jenderal De Kock tahu musuhnya tak siap berperang di bulan Ramadhan. Di lukisan itu Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya yang mengepal menggenggam tasbih.
Basuki Abdulah
Basoeki Abdullah adalah salah seorang maestro pelukis Indonesia. Ia dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan karya-karyanya menghiasi istana-istana negara dan kepresidenan Indonesia, disamping menjadi barang koleksi dari berbagai penjuru dunia.
Pada usia 34 tahun (1949), Basuki mengikuti lomba lukis potret diri Ratu Belanda Juliana. Lomba itu diikuti 81 pelukis dari berbagai penjuru dunia. Tetapi yang mampu menyelesaikan potret Ratu tepat waktu hanya 21 pelukis, termasuk Basuki. Ia bahkan tampil sebagai juara. Sejak itu, Basuki laris sebagai pelukis potret diri.

Basuki mengenal ayahnya, pelukis R. Abdullah Surjosubroto, hanya setelah berusia 15 tahun. Suatu kali, anak kedua dari lima bersaudara ini, menggambar seekor singa yang sedang menerkam. ''Masa melukis macan ketawa,'' canda sang ayah, putra tokoh pergerakan Dr. Wahidin Sudirohusodo. Basuki merasa sakit hati dan terpecut oleh komentar sinis sang ayah.

Berangkat dewasa, ia gemar melukis tokoh-tokoh pergerakan, antara lain Mahatma Gandhi. Basuki mulai mengembara tahun 1947. Mula-mula ia belajar melukis di Akademi Seni Lukis Negeri Belanda, kemudian Italia, dan Prancis.
Dari 42 tahun bermukim di luar negeri, 20 tahun dihabiskannya di Negeri Belanda, dan 17 tahun di Muangthai. Basuki berhasil menyunting gadis Thai. Pulang ke Jakarta, ia membawa serta istri Thai-nya, diangkat Presiden Soekarno sebagai pelukis Istana Merdeka. Tahun 1961, ia diundang Raja Muangthai, Bhumibol Adulyadej, untuk melukis Raja dan istrinya, Ratu Sirikit, hingga ia menjadi pelukis istana di Bangkok. Dua tahun kemudian, ia menerima anugerah Bintang Poporo sebagai Seniman Istana Kerajaan.

Gayanya yang naturalis, mengejar kemiripan wajah dan bentuk, Basuki disukai kalangan atas. Berbagai negarawan dan istri mereka seperti berlomba minta dilukis Basuki: Presiden Soekarno, Sultan Brunei, Pangeran Philip dari Inggris, Pangeran Bernard dari Belanda, dan kaum jetset kaliber Nyonya Ratna Sari Dewi. Yang datang sendiri ke kediamannya, di perumahan Shangrila Indah, Jakarta, tidak kurang: Jenny Rachman, Eva Arnaz, bahkan Laksamana Sudomo.

Kesimpulan

Setelah melihat perbandingan antara kedua pelikis itu maka saya dapat mengambil kesimpulan bahwa apa yang dimaksud dengan pelukis salon adalah para pelukis yang memiliki aliran realis. Sehingga lukisan mereka, mereka buat sebisa mungkin menyerupai aslinya. Walaupu mereka berdua memiliki perbedaan aliran yang satu bersifat romantisme dan yang satu naturalisme namun, keduanya memiliki kesamaan yaitu mampu membuat lukisan yang seakan akan mirip dengan aslinya.

Contohnya saja mengenai melukis wajah. Keduanya memiliki keahlian yang luar biasa dalam melukis wajah yang sangat mendekati seperti yang terlihat di aslinya. Keduanya pun pernah mendapatkan penghargaan tentang keahliannya itu.