Dalam setiap pergelaran wayang, baik wayang golek maupun wayang kulit selalu ditampilkan gunungan. Disebut gunungan karena bentuknya seperti gunung yang berisi mitos sangkan paraning dumadi, yaitu asal mulanya kehidupan ini.
Gunungan yang pada awalnya disebut kayon, dalam pewayangan dapat melambangkan berbagai hal. Gunungan ini dapat dipakai untuk melambangkan berbagai hal seperti gunung, pohon besar, api, ombak samudra, angin ribut, gua, dll. Namun sebenarnya gunungan dibuat untuk melambangkan pohon kehidupan manusia.
Gunungan atau kayon merupakan lambang alam bagi wayang, menurut kepercayaan hindu, secara makrokosmos gunungan yang sedang diputar-putar oleh sang dalang, menggambarkan proses bercampurnya benda-benda untuk menjadi satu dan terwujudlah alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinamakan Panca Maha Bhuta, lima zat yakni: Banu (sinar-udara-sethan), Bani (Brahma-api), Banyu (air), Bayu (angin), dan Bantala (bumi-tanah).
Dari kelima zat tersebut bercampur menjadi satu dan terwujudlah badan kasar manusia yang terdiri dari Bani, Banyu, Bayu, dan Bantala, sedang Banu merupakan zat makanan utamanya.
Tentang asal muasal gunungan dalam dunia pewayangan, ada beberapa orang yang memiliki persepsi berbeda-beda. Ada sumber yang menyebutkan bahwa gunungan diciptakan oleh Sunan kalijaga pada zaman demak. Ada lagi sumber yang mengatakan bahwa gunungan sudah tergambar pada lembaran wayang Beber yang dimainkan oleh rakyat pada zaman Majapahit.
Gunungan memiliki 3 fungsi yaitu:
1. Dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan, seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara.
2. Sebagai tanda untuk pergantian jejeran (adegan/babak).
3. Digunakan untuk menggambarkan pohon, angin, samudera, gunung, guruh, halilintar, membantu menciptakan efek tertentu (menghilang/berubah bentuk).
Bentuk dan seni kriya gunungan selalu berubah dari zaman ke zaman. Antara daerah satu dengan yang lain juga terdapat perbedaan bentuk. Misalnya saja gunungan Wayang Parwa Bali, tidak runcing ujungnya seperti pada seni kriya gunungan Wayang Kulit Purwa Surakarta dan Yogyakarta. Bentuk Gunungan pada Wayang Kulit Purwa Bali bentuknya lebih realistik menyerupai pohon sebenarnya, sedangkan di pulau jawa bentuknya lebih distilir.
Pada 1737 masehi, Susuhunan Paku Buwana II di Kartasura memerintahkan para seniman keraton untuk menciptakan karya seni kriya gunungan baru, yang memasukkan unsur gambar ”gapuran”. Gunungan dengan gapuran ini diberi candra sengkala Gapura Lima Retuning Bumi, yang melambangkan angka tahun jawa 1659 atau 1737 Masehi. Dalam perkembangan dunia perwayangan, gunungan gapuran ini sering juga disebut Gunungan Lanang.
Selain gunungan gapuran, di dunia wayang kulit purwa juga mengenal beberapa jenis gunungan lain yakni gunungan Gunungan Blumbangan atau yang sering disebut Gunungan Wadon. Gunungan Gapuran lebih ramping, lebih menampilkan kesan runcing, dibandingkan dengan Gunungan Blumbangan.
Kelompok kami akan mencoba untuk merealisasikan gambar Gunungan Gagrak Surakarta. Gunungan ini termasuk kedalam kelompok Gunungan Gapuran. Gunungan ini pada bagian muka menyajikan lukisan bumi, gapura dengan dua raksasa, halilintar, hawa atau udara, dan yang asli ada gambar pria dan wanita. Tempat kunci atau umpak gapura bergambarkan bunga teratai, sedangkan diatas gapura digambarkan pepohonan yang banyak cabangnya dengan dedaunan dan buah- buahan. Di kanan-kiri pepohonan terlihat gambar harimau, banteng, kera, burung merak, dan burung lainnya. Di tengah-tengah pepohonan terdapat gambar makara atau banaspati ( wajah raksasa dari depan).
Sedangkan di balik gunungan terlihat sunggingan yang menggambarkan api yang sedang menyala. Ini merupakan sengkalan yang berbunyi geni dadi sucining jagad yang mempunyai arti 3441 dibalik menjadi 1443 tahun Saka. Gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka.
Kata kayon melambangkan semua kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya
yang mengalami tiga tingkatan yakni:
1. Tanam tuwuh (pepohonan) yang terdapat di dalam gunungan, yang orang mengartikan pohon Kalpataru, yang mempunyai makna pohon hidup.
2. Lukisan hewan yang terdapat di dalam gunungan ini menggambarkan hewan- hewan yang terdapat di tanah Jawa.
3. Kehidupan manusia yang dulu digambarkan pada kaca pintu gapura pada kayon, sekarang hanya dalam prolog dalang saja.
Makara yang terdapat dalam pohon Kalpataru dalam gunungan tersebut berarti Brahma mula, yang bermakna bahwa benih hidup dari Brahma. Lukisan bunga teratai yang terdapat pada umpak (pondasi tiang) gapura, mempunyai arti wadah (tempat) kehidupan dari Sang hyang Wisnu, yakni tempat pertumbuhan hidup.
Berkumpulnya Brahma mula dengan Padma mula kemudian menjadi satu dengan empat unsur, yaitu sarinya api yang dilukiskan sebagai halilintar, sarinya bumi yang dilukiskan dengan tanah di bawah gapura, dan sarinya air yang digambarkan dengan atap gapura yang menggambarkan air berombak.
Makna kayon adalah hidup yang melalui mati, atau hidup di alam fana. Kayon dapat pula diartikan pohon hidup atau pohon budhi tempat Sang Budha bertapa. Kayon dapat disamakan dengan pohon kalpataru atau pohon pengharapan. Dapat pula disebut bukit atau gunung yang melambangkan sumber hidup dan penghidupan.
1 komentar:
Hal Mas Atmaja,
Artikelnya cukup informatif.
Saya mohon ijinnya untuk dijadikan rujukan pada artikel yang akan saya buat nanti tentang gunungan ya Mas.
Maturnuwun.
Hormat saya,
Andrian.
Posting Komentar Posting Komentar