Salah satu perbedaan yang cukup mencolok antara kebudayaan kota dan kebudayaan di desa adalah rasa kekeluargaan. Yang membuat saya yakin bahwa pendapat saya benar mengenai perbedaan itu adalah dalam hal kerja bakti. Kebetulan, ketika saya berada di daerah Watuireng, desa itu sedang melaksanakan sebuah pembangunan kapel atau tempat ibadat. Yang membuat perbedaan itu kembali muncul adalah dalam hal pelaksanaan pembangunan kapel tersebut.
Dalam proses pembuatannya, warga Lingkungan Watuireng tidak begitu saja melepas pekerjaan pembangunan kapel itu kepada seorang tukang atau seorang kontraktor. Tetapi yang mereka lakukan adalah bekerja bakti membagun tempat ibadat yang akan mereka gunakan sendiri. Hal ini ironis dengan kehidupan di kota tempat saya tinggal. Jangankan untuk membangun sebuah tempat baru yang akan mereka gunakan bersama, bahkan untuk merawat hal yang sudah diberikan kepada mereka demi kepentingan barsama saja tidak mau.
Lihat saja faktanya di kota-kota besar. Sekarang ini budaya bekerja bakti sudah mulai luntur oleh kebiasaan orang “membayar”. Orang-orang kota lebih suka membayar orang lain hanya sekedar untuk membersihkan halaman dan got-got di depan rumah mereka sendiri. Mereka selalu beralasan bahwa mereka tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya.
Memang dalam kehidupan di pedesaan, istilah kerja bakti sudah tidak dianggap asing lagi. Bahkan istilah tersebut telah menjadi keseharian yang sangat umum dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan. Semangat yang tertanam dibalik istilah tersebut mengingatkan saya pada masa lalu dimana para tokoh kemerdekaan menggunakan istilah ini untuk membangun semangat para penduduk desa untuk membantu para pejuang yang tengah mengadu nyawa di medan perang. Dengan kerja bakti, para penduduk menyediakan kebutuhan logistik para pejuang kemerdekaan, selain itu ada juga para penduduk yang merelakan nyawanya untuk membantu berjuang melawan musuh.
Pada jaman orde baru istilah kerja bakti juga sering dipakai, terutama TNI yang dulu istilahnya ABRI, dengan programnya ABRI Masuk Desa. Para ABRI ini kerja bakti masuk desa untuk membantu masyarakat pedesaan yang mungkin masih kekurangan tenaga untuk melakukan pekerjaan semisal memperbaiki saluran air, membuat sumur umum atau WC umum, bahkan membangun balai petemuan.
Begitu pula dengan apa yang terjadi di desa Watuireng. Dengan penuh semangat, para warganya rela berganti-gantian bekerja dalam pembangunan kapel tersebut. Karena kebanyakan dari warga desa tersebut bermata pencaharian sebagai petani yang pada umumnya tidak bekerja seharian penuh, maka mereka bergantian untuk bekerja bakti. Ada yang kebagian kerja bakti pagi, dan ada juga yang kebagian kerja bakti siang hingga sore hari. Dengan begitu, pekerjaan itu tidak menjadi berat di tenaga dan berat di ongkos.
Kalo saya perhatikan suasana kerja bakti penuh dengan kekeluargaan. Tidak ada rasa saling iri atau bahkan merasa tertekan dengan beban kerja yang dilakukan, karena semuanya dilandasi dengan rasa senang dan penuh dengan suasana kekeluargaan. Nilai-nilai inilah yang seharusnya ditengah-tengah kita sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar Posting Komentar